Harus diakui sistem kesehatan di Indonesia memiliki dua sisi yang kontras. Ibarat wajah, sistem ini menghadirkan wajah yang bopeng dan penuh luka, namun tetap memiliki bagian-bagian yang terjaga kehalusan dan kebersihannya. Mari tengok anggaran utuk kesehatan, sebagai contoh betapa bopeng dan luka menggerogoti sistem kesehatan di Indonesia.
Pada tahun 2014, Kementerian Kesehatan hanya mendapat Rp 44,9 triliun. Kalah jauh dibandingkan dengan anggaran untuk Kementerian Pertahanan yang mendapat anggaran sebesar Rp 83,4 triliun. Anggaran untuk kesehatan juga kalah sebesar Rp 4,7 triliun dengan anggaran untuk bidang agama, Kementerian Agama mendapat anggaran sebesar Rp 49,6 triliun. Ditambah dengan fasilitas kesehatan yang juga sangat buruk, terutama di daerah-daerah terpencil, hal tersebut membuktikan pemerintah Indonesia belum serius dalam menyikapi permasalahan kesehatan. Bopeng dan luka akan semakin terlihat saat mengingat biaya berobat yang teramat tinggi. Hingga ada slogan terkenal, “orang miskin dilarang sakit”.
Sekarang, mari kita tengok persebaran dokter yang sangat tidak merata. Saat ini jumlah dokter anggota Ikatan Dokter Indonesia sebanyak 111.574 orang. Dengan jumlah terbanyak ada di provinsi DKI Jakarta, yakni sebanyak 20.942 orang. Persebaran dokter yang tidak merata menjadikan cerita pasien terlantar bukan lagi cerita baru.
Menjelang akhir tahun 2013 ini, terjadilah salah satu peristiwa yang memicu kontroversi. Yakni pemogokan dokter di Indonesia sebagai bentuk solidaritas terhadap kasus yang menimpa Dr. Dewa Ayu Sasiari, SpOG, DR. Hendry Simanjutak, SpOG, dan dr. Hendy Siagian. Mereka, para serikat dokter, berkeras bahwa dokter tak seharusnya dikriminalisasi. Akibat mogok dokter nyaris di seluruh Indonesia ini, banyak pasien yang semakin terlantar. Bahkan ada salah satu pasien yang melahirkan di WC akibat tak ada dokter yang mengurusi persalinannya. Baca lebih lanjut →